Beberapa tahun terakhir, investasi seakan jadi lifestyle baru bagi anak muda.
Kalau dulu tren anak muda identik dengan nongkrong di kafe, traveling, atau mengoleksi sneakers, sekarang obrolan yang sering muncul justru seputar saham, crypto, reksa dana, bahkan obligasi.
Buka media sosial, muncul konten edukasi keuangan dengan gaya meme.
Scroll TikTok, ada anak SMA yang katanya sudah cuan puluhan juta dari trading.
Di Twitter (atau sekarang disebut X), muncul diskusi hangat soal saham bank digital.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah generasi muda benar-benar mulai melek finansial, atau sekadar ikut-ikutan tren karena takut ketinggalan (FOMO)?
Investasi secara sederhana adalah menanamkan modal—bisa uang, tenaga, atau aset lain dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa depan.
Bedanya dengan menabung, investasi punya potensi pertumbuhan nilai.
Kalau menabung di bank Rp1 juta, 10 tahun lagi mungkin nilainya tidak jauh berbeda.
Tapi kalau Rp1 juta ditaruh di instrumen investasi yang tepat, nilainya bisa berlipat.
Bagi anak muda, investasi bukan hanya soal uang, tapi juga bagian dari identitas diri.
Ada rasa bangga bisa bilang, “Gue udah punya saham di perusahaan X” atau “Gue rutin beli reksa dana tiap bulan.”
Investasi di Indonesia bukan kegiatan liar tanpa aturan. Ada dasar hukum yang melindungi masyarakat agar tidak asal menaruh uang:
- UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, menjadi payung hukum bagi kegiatan jual beli saham, obligasi, dan instrumen pasar modal lainnya.
- UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK diberi mandat untuk mengawasi lembaga keuangan, perbankan, hingga investasi digital.
Peraturan Bank Indonesia terutama terkait sistem pembayaran, uang elektronik, dan fintech yang kini jadi bagian ekosistem investasi digital.
Selain itu, pemerintah rutin merilis obligasi negara (ORI, SBR) yang aman karena dijamin negara. Hal ini membuktikan investasi bukan hanya urusan orang kaya, tapi bisa diakses semua kalangan, termasuk anak muda.
Kalau ditarik ke akar kata, investasi berarti menanam sesuatu dengan harapan hasilnya bisa dipetik kelak.
Seorang petani menanam padi → berharap panen 3 bulan lagi.
Seorang mahasiswa kuliah bertahun-tahun → berharap kelak mendapat pekerjaan lebih baik.
Seorang pekerja kantoran menyisihkan gajinya untuk reksa dana → berharap nilainya tumbuh 5–10 tahun mendatang.
Jadi, investasi bukan sekadar uang, tapi juga mindset jangka panjang. Anak muda yang berinvestasi berarti sudah berpikir melampaui gaya hidup hari ini, menuju kestabilan finansial esok.
Kelebihan: bisa mulai dari Rp10 ribu, praktis, cocok untuk pemula.
Risiko: nilai unit bisa turun mengikuti kondisi pasar, walaupun relatif lebih aman karena dikelola profesional.
Kelebihan: potensi cuan tinggi, bisa dapat dividen + capital gain (selisih harga jual-beli).
Risiko: harga saham fluktuatif, bisa turun tajam dalam waktu singkat.
Kelebihan: aman karena dijamin negara, imbal hasil stabil, cocok untuk investasi jangka menengah.
Risiko: likuiditas terbatas (tidak selalu bisa dijual kapan saja dengan harga yang sama).
Kelebihan: tahan inflasi, nilainya cenderung stabil dalam jangka panjang.
Risiko: kenaikan harga cenderung lambat, dan ada biaya penyimpanan jika berbentuk fisik.
Kelebihan: risiko rendah, bunga lebih tinggi dari tabungan.
Risiko: dana tidak fleksibel karena ada jangka waktu penyimpanan (tidak bisa ditarik sebelum jatuh tempo).
Kelebihan: potensi cuan besar jika tren naik.
Risiko: sangat fluktuatif, belum ada regulasi jelas di Indonesia, dan rawan spekulasi.
Kenali profil risiko.
Konservatif → lebih suka aman, cocok di deposito, emas, obligasi.
Moderat → mau coba cuan lebih besar, cocok kombinasi saham + reksa dana.
Agresif → siap naik-turun tajam, bisa ke saham berisiko tinggi atau crypto.
Namun, investasi bukan tren sesaat. Jika hanya ikut-ikutan tanpa pengetahuan, risikonya bisa fatal.
Jadi, jangan hanya sekadar ikut-ikutan. Belajarlah, mulai kecil, dan konsisten. Dengan begitu, investasi bisa menjadi kendaraan menuju kebebasan finansial, bukan sekadar tren yang cepat berlalu.