Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko membawa perubahan substantif pada tata kelola perizinan usaha di Indonesia.
Bagi pelaku UMK (Usaha Mikro dan Kecil) dan pelaku usaha menengah, pembaruan ini berimplikasi pada cara memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB), jenis dokumen yang wajib disiapkan (termasuk dokumen lingkungan), mekanisme penerbitan melalui OSS (Online Single Submission) RBA, serta kewajiban pelaporan dan kepatuhan yang lebih tegas.
Artikel ini menjabarkan isi penting PP 28/2025, dampaknya pada NIB dan perizinan UMK, serta hal teknis yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha.
PP 28/2025 mengatur penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) — yaitu pendekatan dimana jenis perizinan, persyaratan, frekuensi dan kualitas pengawasan disesuaikan dengan tingkat risiko kegiatan usaha.
Tujuannya adalah menghadirkan kepastian hukum, penyederhanaan prosedur, dan efisiensi administrasi bagi pelaku usaha tanpa mengurangi perlindungan publik dan lingkungan.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (ditetapkan 5 Juni 2025) menjadi rujukan utama pelaksanaan PBBR.
Implementasi teknis dan integrasi layanan dijalankan melalui Sistem OSS RBA yang dikelola Kementerian Investasi (BKPM/Kementerian Investasi dan Hilirisasi) ada pengumuman masa peralihan/penyesuaian OSS pada 3 Oktober 2025.
Selain itu terdapat peraturan pelaksana dan peraturan sektoral/teknis yang sedang disiapkan atau diterbitkan untuk mengatur rincian (mis. persyaratan teknis, matrix kewenangan, SLA).
- Penerapan OSS RBA sebagai pusat tunggal untuk pendaftaran NIB dan pengajuan persyaratan lingkungan/teknis mengurangi kebutuhan tatap muka dan dokumen fisik. OSS juga berperan menerbitkan beberapa persetujuan atas nama instansi terkait.
- Pembagian kategori risiko yang lebih tegas dan kaitannya langsung dengan jenis dokumen yang diperlukan (mis. SPPL, UKL–UPL, AMDAL). Ini menentukan apakah suatu kegiatan cukup dengan NIB + SPPL (otomatis) atau memerlukan UKL–UPL/AMDAL dengan proses penilaian.
- Sistem satu dokumen lingkungan untuk multi-KBLI (jika kegiatan terintegrasi di satu lokasi) mengurangi duplikasi dokumen untuk pelaku usaha yang menjalankan beberapa kegiatan. Namun jika salah satu KBLI memerlukan AMDAL, seluruh paket akan mengikuti ketentuan AMDAL.
- Batas waktu penilaian (SLA) dan otomatisasi untuk beberapa jenis persetujuan (contoh: SPPL dapat diproses otomatis), sehingga mempercepat penerbitan perizinan bagi pelaku usaha berisiko rendah dan menengah-rendah.
Penentuan tingkat risiko KBLI sebelum menyiapkan dokumen, pastikan KBLI yang dipakai ditentukan dengan benar karena akan menentukan apakah cukup SPPL, UKL–UPL, atau AMDAL. Konsultasikan dengan DPMPTSP/OSS bila ragu.
Kepatuhan tenant di kawasan industri/KEK walaupun kawasan induk punya dokumen lingkungan, tenant tetap berkewajiban memenuhi dokumen lingkungan sesuai skala kegiatannya.
Mulai masa peralihan Oktober 2025 OSS menyesuaikan fitur-fiturnya untuk PP 28/2025 (pengumuman resmi per 3 Oktober 2025).
Salah satu semangat PP 28/2025 adalah mencegah permintaan persyaratan tambahan yang tidak relevan oleh instansi pemerintah (baik pusat maupun daerah) yang dapat menjadi hambatan administratif.
Sanksi meliputi teguran administratif, pembekuan, hingga pencabutan izin dan/atau denda sesuai ketentuan sektoral.
Ketidakpatuhan berpotensi berujung pada tindakan pengawasan/pembinaan.
Bagi UMK, ini berpotensi memudahkan akses perizinan (terutama untuk kegiatan risiko rendah), mempercepat penerbitan NIB, dan mengurangi beban administratif asalkan pelaku usaha menyiapkan dokumen yang lengkap, memilih KBLI yang tepat, dan mematuhi kewajiban lingkungan/teknis yang berlaku.
Untuk kepastian teknis pada kasus tertentu (mis. apakah suatu KBLI butuh AMDAL atau cukup SPPL), rujuk langsung ke PP 28/2025 dan OSS, serta mintalah pendampingan dari DPMPTSP setempat atau konsultan lingkungan.