Tahun 2025 membawa sejumlah perubahan signifikan dalam peraturan perpajakan, khususnya bagi Perseroan Terbatas (PT).
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) semakin memperketat aturan untuk meningkatkan kepatuhan dan efektivitas pengawasan.
Jika kamu pemilik PT, memahami perubahan ini bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Artikel ini akan membantu kamu memahami aturan baru, dampaknya, dan bagaimana cara menghadapinya dengan tepat agar bisnis tetap berjalan aman dan lancar.
Perubahan perpajakan PT 2025 adalah pembaruan peraturan pajak yang diberlakukan untuk mengatur sistem pelaporan, validasi alamat usaha, serta ketentuan penggunaan virtual office bagi PT di Indonesia.
Perubahan ini menitikberatkan pada:
- Pengetatan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)
- Validasi keberadaan fisik usaha
- Perbaikan sistem pelaporan berbasis OSS dan pajak digital
Tujuan utamanya adalah meningkatkan akurasi data, mengurangi risiko penyalahgunaan fasilitas virtual office, serta meningkatkan penerimaan pajak secara optimal.
Bagi pemilik dan pengelola PT, penting untuk memahami perubahan ini sejak dini agar bisnis tetap aman dan tidak terkena sanksi administratif maupun pidana. Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diwaspadai :
Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang sebelumnya dijanjikan turun menjadi 20% mulai 2023, kembali dikaji ulang. Pemerintah mempertimbangkan untuk menetapkan tarif flat 22% untuk seluruh PT tanpa insentif tambahan, seiring dengan perlambatan ekonomi global dan kebutuhan APBN.
Dampaknya :
- PT dengan penghasilan kena pajak besar akan tetap merasakan beban pajak yang tinggi.
- Perlu evaluasi ulang strategi efisiensi biaya dan penghasilan.
Mulai 1 Juli 2024, NIK (Nomor Induk Kependudukan) resmi menjadi NPWP format baru bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Untuk PT, meski masih menggunakan NPWP 15 digit, sistem administrasi perpajakan sudah mulai mengintegrasikan data pemegang saham, direktur, dan komisaris dengan NIK mereka.
Imbasnya bagi PT :
- Pemeriksaan pajak akan lebih transparan dan menyeluruh.
- Risiko pajak dari pihak terafiliasi (pemilik/direktur) meningkat jika tidak konsisten.
Mulai awal 2025, DJP mewajibkan seluruh PKP (Pengusaha Kena Pajak) untuk menggunakan E-Faktur 3.2 dan E-Bupot Unifikasi. Tidak ada lagi toleransi pelaporan manual atau semi-manual.
Konsekuensi :
- Keterlambatan input atau kesalahan sistem bisa langsung menyebabkan sanksi administrasi.
- PT wajib meningkatkan sistem akuntansi dan SDM pajak internal.
PT yang melakukan transaksi dengan afiliasi, termasuk sesama anak perusahaan dalam grup usaha, harus melaporkan dokumen penentuan harga transfer (TP Doc) yang lebih detail, termasuk analisis manfaat ekonomi.
Waspadai :
- Ketidaklengkapan dokumentasi bisa dianggap rekayasa harga.
- Risiko koreksi fiskus dan denda hingga 100% dari pajak kurang bayar.
Pemerintah melanjutkan agenda integrasi pajak pusat dan daerah melalui sistem e-Pajak terpadu. Beberapa pajak daerah seperti Pajak Reklame, Pajak Air Tanah, hingga PBB kini terhubung dengan data pusat.
Artinya :
- Tidak ada ruang untuk inkonsistensi antara laporan pusat dan daerah.
- PT wajib selaraskan data pelaporan lintas wilayah.
- Dampak Akan Aturan Yang Baru
Kalau kamu sedang menghadapi situasi seperti ini dan butuh bantuan untuk strategi penyelesaiannya, Kami bisa bantu lebih lanjut dan ada pertanyaan kepengurusan legalitas, konsultasikan pada kami, bisa menghubungi kami di 0811878400.