
Perilaku usaha mikro dan kecil di Indonesia selama ini sering menghadapi tantangan birokrasi dalam pengurusan izin usaha mulai dari kerumitan persyaratan, lamanya proses, hingga ketidakpastian hukum dan regulasi yang bertumpuk.
Untuk merespons masalah ini dan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi berbagai skala usaha, pemerintah pada 5 Juni 2025 mengesahkan PP 28 Tahun 2025, yang menjadi regulasi baru penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.
Bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang selama ini sering terkendala oleh birokrasi, biaya, dan ketidakpastian regulasi ini berpeluang menjadi pintu menuju kemudahan dan kepastian hukum.
Namun, seperti regulasi baru pada umumnya, ada banyak aspek yang berubah: prosedur, klasifikasi, syarat, hingga cara pengawasan.
Artikel ini bertujuan mengulas secara mendalam implikasi PP 28/2025 terutama terhadap usaha mikro dan kecil serta memberi gambaran potensi manfaat dan tantangan yang mungkin muncul.

PP 28/2025 mengatur sistem perizinan berusaha berbasis risiko dikenal dengan istilah Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR).
Dalam PBBR, tidak semua usaha akan diperlakukan sama. Legalitas usaha apakah dibutuhkan izin penuh, hanya NIB (Nomor Induk Berusaha), atau sekadar persetujuan dasar akan ditentukan berdasarkan hasil analisis risiko dari kegiatan usaha tersebut: seberapa besar potensi dampak kesehatan, keselamatan, lingkungan, atau aspek lain yang melekat pada usaha.
Dengan pendekatan ini, usaha berisiko rendah bisa memperoleh izin dengan prosedur lebih ringan, sedangkan usaha dengan tingkat risiko lebih tinggi tetap diawasi dengan persyaratan dan prosedur ketat.

Dengan demikian PP 28/2025 adalah payung hukum terbaru bagi penyelenggaraan perizinan usaha berbasis risiko di Indonesia.

Jika usaha Anda berada di lokasi dengan RDTR terintegrasi: Anda bisa mengajukan konfirmasi KKKPR. Sistem OSS akan mengecek kesesuaian lokasi secara otomatis terhadap data RDTR.
Jika sesuai → KKKPR disetujui; jika tidak sesuai → ditolak.
Persetujuan atau penolakan bersifat otomatis dan tercatat secara elektronik.

Contoh RDTR tidak sesuai
Jika RDTR untuk lokasi Anda belum tersedia/ belum terintegrasi, Anda bisa mengajukan persetujuan KKKPR secara manual dengan mengirimkan dokumen koordinat lokasi, luas lahan, rencana pemanfaatan ruang/bangunan, penguasaan tanah, dan dokumen pendukung lainnya.
Setelah diverifikasi dan memenuhi syarat, persetujuan akan dikeluarkan.
Dalam banyak kasus, untuk usaha mikro/kecil terutama usaha kecil dengan modal kecil dan aktivitas skala kecil asalkan lokasi jelas dan jenis usaha sederhana, KKKPR lewat konfirmasi bisa menjadi proses ringan yang memfasilitasi perizinan usaha lebih mudah.
Dengan demikian, KKKPR bila diimplementasikan dengan baik bisa jadi jembatan agar para pelaku UMK mendapat legalitas usaha secara cepat, ringan, dan transparan.

Dengan kata lain: regulasi baru membawa peluang besar, tetapi keberhasilan di lapangan sangat tergantung pada sejauh mana sistem dan implementasinya benar-benar responsif terhadap kebutuhan dan kapasitas usaha kecil.

Istilah RDTR Interaktif merujuk pada sistem peta tata ruang digital dan interaktif yang terintegrasi dengan layanan perizinan usaha melalui OSS.
Artinya, pelaku usaha dapat mengecek secara daring apakah alamat/lokasi usaha mereka sesuai dengan zonasi yang diperbolehkan untuk jenis usaha tertentu.
Dengan demikian, RDTR Interaktif menjadi elemen kunci agar regulasi baru benar-benar bisa memberi kemudahan bagi UMK bukan sekadar dokumen di atas kertas.

Jika alamat usaha Anda tidak tercakup dalam RDTR Interaktif atau zonasi tidak sesuai maka dampaknya bisa signifikan:

Dengan sistem klasifikasi risiko dan verifikasi zoning ruang melalui KKKPR, banyak usaha kecil yang selama ini berjalan informal bisa mendapatkan legitimasi usaha secara resmi.
Dengan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha regulasi baru seperti PP 28/2025 dapat menjadi pijakan untuk memperkuat dan memperluas basis usaha mikro/kecil di Indonesia dengan cara yang legal, sehat, dan berkelanjutan.Penulis : Dara Septiafitri